Berita InSWA

Permasalahan Sampah di Tengah Pandemi Corona

 

 

Ayo Pisahkan Sampahmu!

Peranan UMKM dalam Industri Jasa Pengelolaan Sampah

Jakarta, 30 Agustus 2019Akhir-akhir ini kita dikagetkan dengan berbagai pemberitaan media mengenai impor sampah dan limbah ke Indonesia yang semakin meningkat. Impor sampah dan limbah yang mencakup serat kertas dan plastik disinyalir untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. “Pertanyaan yang sederhana. Kalau memang benar sebagai bahan baku, kenapa tidak diolah di Negara asalnya saja yang mana merekapun mengaku sudah menerapkan circular economy?” Kata Presiden Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Sri Bebassari saat ditemui di TPS3R Rawasari Jakarta Pusat. Jumat (30/8).
Beliau lebih lanjut mengatakan jika ingin memajukan industri daur ulang, jadikanlah industri tersebut sebagai industri jasa pengolahan limbah, bukan industri jual beli barang bekas. Polluter Pays Principle. Pihak yang membuang limbah harus yang membayar, dan yang mengolah limbah harus dibayar. Sri Bebassari juga mengatakan bahwa karena sampah dianggap sebagai bahan baku maka hal tersebut menjadi celah yang dimanfaatkan oleh Negara maju untuk mengekspor limbahnya ke Indonesia dengan dalih menjadi bahan baku yang harus dibeli.

Terkait dengan hal tersebut di atas dan menindaklanjuti Undangan Bapak Presiden Joko Widodo pada tanggal 18 Juni 2019 kepada Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil (HIPMIKINDO) untuk memberikan masukan mengenai isu-isu strategis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), maka HIPMIKINDO bekerjasama dengan Perkumpulan Persampahan Indonesia atau Indonesia Solid Waste Association (InSWA) dan Poros Hijau Indonesia Korda DKI Jakarta yang merupakan organisasai profesi non profit di bidang pengelolaan sampah untuk mendorong peran aktif UMKM dalam pengelolaan sampah di Indonesia melalui kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 2019 di TPS3R Rawasari, Jakarta Pusat. Kegiatan ini dihadiri oleh Kementerian dan lembaga Negara, Pemerintah Provinsi/Kabupaten Kota, Lembaga Masyarakat/NGO/Asosiasi, Perguruan Tinggi  /Akademisi, Perusahaan BUMN / BUMD dan Perusahaan Swasta.

Diharapkan dengan adanya Focus Grup Discussion ini akan melahirkan sumbangsih pemikiran Solusi Sampah di Indonesia. Karena akan banyak pihak yang turut terlibat dalam pengelolaan sampah di Indonesia, termasuk para UMKM. Selain keterlibatan perusahaan-perusahaan besar yang berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dengan hasil sampingannya berupa listrik yakni sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2018 mengenai Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Listrik atau yang sering dikenal dengan PLTSa, maka peranan Industri-industri kecil dan mikro ini adalah sebagai Industri jasa di bidang pengelolaan sampah. “Peranan UMKM yang jumlahnya saat ini mencapai 63 juta lebih atau setara dengan 99,7% dari total jumlah pengusaha Indonesia, turut menyumbang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60,34%, kontribusi terhadap tenaga kerja sebesar 97% sementara kontribusi ekspor sebesar 14,17%.Syahnan Phalipi, Ketua Umum DPP HIPMIKINDO mengatakan bahwa “Kita harus memaksimalkan peran UMKM agar lebih bertumbuh maju dan sukses menuju Indonesia lebih sejahtera, makmur, berkeadilan secara berkelanjutan”. Menurut beliau, Pengelolaan Sampah adalah problem kita bersama yang sekaligus terdapat opportunity atau peluangnya. Sebaiknya juga melibatkan semua stake holders termasuk UMKM untuk mengelola sampah agar solusi komprehensif tercapai dengan efektif, efisien dan saling menguntungkan.Perlu diketahui bahwa terdapat 5 (lima) aspek yang harus terintegrasi dalam sistem pengelolaan sampah di Indonesia.

Aspek yang pertama adalah Aspek Hukum. Aspek hukum di sini menjadi aspek yang penting dan mendasar dalam penanganan sampah atau limbah. Sehingga dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan persampahan memiliki dasar hukum yang kuat. Permasalahan Aspek Hukum meliputi kurangnya sosialisasi mengenai peraturan secara professional, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggar UU atau Perda tentang Persampahan serta pada saat penyusunan peraturan belum melibatkan semua komponen yang aktif.

Kedua adalah Aspek Kelembagaan. Aspek Kelembagaan meliputi peran dari para stake holder dan pemerintah dalam penanganan sampah sangatlah penting. Pembagian peran dari masing-masing stake holder terkait harus jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih.

Identifikasi permasalahan aspek kelembagaan ini meliputi masih lemahnya koordinasi antar Kementerian atau Lembaga terkait Persampahan dan belum jelas pembagian peran, siapa regulator dan siapa operator. Melihat kondisi pengelolaan sampah saat ini, kiranya perlu dibentuk suatu Badan untuk pengelolaan sampah di Indonesia yaitu Badan Pengelolaan Sampah Nasional (BPSN).

Ketiga adalah Aspek Pembiayaan atau Finansial. Pengelolaan sampah yang benar memerlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari biaya pengangkutan hingga pemrosesan akhir. Permasalahan terkait Aspek Pembiayaan ini bisa kita lihat bahwa alokasi anggaran pengelolaan sampah belum menjadi prioritas baik dalam APBN maupun APBD. Selain itu masih minimnya jumlah retribusi atau iuran sampah.

Aspek yang keempat adalah Aspek Sosial Budaya. Penting bahwa adanya perencanaan pengelolaan persampahan ini tersampaikan kepada masyarakat. Komunikasi yang baik kepada masyarakat perlu dilakukan, Sehingga masyarakat mampu memahami dengan baik dan akhirnya tercipta kebudayaan di masyarakat yang sadar lingkungan. Karena masyarakatpun harus mengambil peran dalam pengurangan dan penanganan sampah di Indonesia, sehingga pengelolaan sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, namun menjadi tanggung jawab kita bersama. Keberhasilan sistem pengelolaan sampah yang baik bisa dilihat dari mindset dan perubahan pola pikir masyarakat yang peka terhadap lingkungan. Adanya pengelolaan sampah yang baik juga dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Sehingga kemudian dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Kelima adalah Aspek Teknologi. Setiap Teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada teknologi yang paling baik atau paling buruk, yang ada adalah teknologi yang paling cocok. Permasalahannya adalah masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi pengolahan sampah dan teknologi yang digunakan saat ini pun harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat setempat.

3 September 2019

Polemik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)

Beberapa hari ini beredar di media sosial ajakan untuk mendukung judicial review terhadap peraturan presiden No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 7 kota/provinsi: Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Surakarta. Seruan itu berisi kekhawatiran bahwa sampah kota yang dibakar akan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan, dan bertentangan dengan kondisi di Indonesia, regulasi yang ada, dan lain sebagainya.

Sekilas, publik tentu akan langsung bereaksi ikut menentang Perpres tersebut, dan terbukti dari beberapa grup yang saya ikuti, re-tweet dan ajakan untuk mendukung semakin bergulir. Meskipun tetap ada juga yang tidak ikut re-tweet dengan berbagai alasan atau tidak menanggapi sama sekali. Memang demikian adanya media sosial saat ini.

Sebagai individu yang senang belajar tentang sampah, khususnya sampah kota, saya tergelitik untuk menanggapinya. Mudah-mudahan bisa memberikan pandangan yang lebih berimbang.

Pertama, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa yang dimaksud pembakaran sampah dalam Perpres bukanlah pembakaran terbuka seperti jaman dahulu nenek kakek kita membakar sampah di halaman. Atau pembakaran tertutup dengan tungku seperti di rumah sakit atau crematorium yang kapasitasnya kecil dan masih dilakukan feeding (sampah masuk) secara manual. Pembakaran kapasitas kecil semacam ini justru tidak lagi direkomendasikan untuk sampah kota dan terbukti banyak menemui kegagalan (BPPT, 2003).

Pembakaran yang dimaksud dalam Perpres adalah teknologi tinggi yang harus aman, baik prosesnya maupun abu dan emisi gas buang nya. Pembakaran sampah yang dimaksud dilakukan juga di banyak negara termasuk negara tetangga Singapura yang terkenal sangat bersih, dan sedikitnya berfungsi ganda: mengurangi volume sampah hingga tinggal abunya, dan menghasilkan tenaga listrik. Kapasitasnya minimal 1000 ton sampah per hari, dan listrik yang dihasilkan mampu mencapai 10 MW. Bangunan fisiknya mirip seperti mal yang banyak dijumpai di kota besar. Bukan investasi yang sedikit, karena penyedia teknologi nya wajib memiliki lisensi internasional, dan operator nya harus memiliki kompetensi tinggi. Hampir sepertiga dari investasi dialokasikan untuk memastikan emisi gas buang, termasuk dioksin yang sangat ditakutkan itu, aman. Menurut Internasional Solid Waste Association (ISWA) pada laporannya tahun 2013, tercatat lebih dari 1200 PLTSa beroperasi di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.

Di Indonesia, pengembangan PLTSa sebenarnya juga bukan hal yang baru. Tahun 1980-an, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan Studi Kelayakan PLTSa untuk DKI Jakarta. Teknologi thermal pun telah dipilih untuk Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, dan proses lelang investasi pun telah dimulai. Demikian pula dengan Bandung. Berbekal kepahitan paska darurat sampah di kota tersebut, dilakukanlah proses lelang PLTSa untuk lokasi Gedebage. Namun proyek-proyek investasi ini tidak berlanjut hingga saat ini, karena berbagai kesulitan yang ditemui.

Kedua, publik juga perlu menyadari bahwa permasalahan sampah kota di Indonesia semakin pelik dan genting, sehingga urgensi untuk teknologi tinggi yang mampu menangani tingginya volume sampah semakin mendesak. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di kota-kota metropolitan semakin penuh, padahal lahan semakin terbatas. Jika estimasi setiap orang menghasilkan ‘dosa’ 0.5 kg sampah per hari, maka Jakarta menghasilkan 6000 ton per hari, membutuhkan lebih dari 1000 trip truk sampah, untuk ditimbun di ‘gunung sampah’ seluas lebih dari 120 hektar lahan di Bantargebang.

Bagi kita yang tinggal jauh dari lokasi TPA, mungkin tidak terbayang betapa gawatnya kondisi persampahan saat ini. Tapi ingatkah kita akan tutupnya TPA di Leuwigajah Bandung tahun 2005, yang berdampak pada kondisi kota yang ‘tertimbun’ sampah selama berminggu-minggu hingga ke jalan raya, halaman kantor, sekolah bahkan di depan rumah? Bukan tidak mungkin kejadian itu berulang, khususnya di kota-kota metropolitan dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa.

Instalasi pengolahan sampah skala besar khususnya PLTSa menjadi pilihan logis untuk darurat sampah, karena membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas, dan didukung oleh teknologi yang sudah mapan. Pilihan lainnya jika sudah terjadi darurat sampah, adalah peraturan ekstrim bahwa seluruh lapisan masyarakat dilarang (ada sanksi hukumnya) membuang sampah terutama sampah mudah membusuk. Masyarakat harus memastikan untuk mengolah sendiri sampahnya, secara swadaya atau menggunakan jasa pihak lain. Siapkah kita jika ini terjadi?

Ketiga, Perpres ini tidak memberi arti bahwa PLTSa akan serta merta beroperasi dalam 1 – 2 tahun ke depan. Banyak hal yang harus diselesaikan, termasuk studi kelayakan untuk tiap kota/provinsi terpilih tersebut, untuk menentukan go or no go dari proyek PLTSa. Bukan hanya aspek teknisnya, tapi juga kelembagaan dan sosial.

Investasi yang tinggi juga membutuhkan kepastian sumber pembiayaan. Seperti diketahui, meskipun PLTSa dapat memperoleh income dari penjualan listrik, namun biaya pembangunan dan operasional yang tinggi – khususnya jika investasi dilakukan oleh swasta murni – tidak dapat tercukupi tanpa adanya pemasukan dari tipping fee atau jasa pengolahan sampah. Pemerintah masih berpikir ulang untuk memutuskan apakah subsidi dapat dilakukan terhadap proyek PLTSa. Tanpa subsidi, maka retribusi dari masyarakat lah yang harus dikejar untuk memenuhi kebutuhan biaya.

Pertanyaannya sekarang, siapkah kita mereformasi paradigma kita bahwa mengolah sampah tidaklah murah? Tentu banyak pilihan lain yang lebih murah, ramah lingkungan, seperti membuat kompos sendiri di rumah, ikut bank sampah, mendaur ulang, dan lain sebagainya. Tentu, jika penyakit persampahan kita masih sakit ringan dan sedang. Tapi jika sudah stroke, atau kanker, silakan tanyakan pada diri kita sendiri, apakah masih cukup dengan olah raga dan minum suplemen atau antibiotik? Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhtiar kita tentu sudah ke level operasi besar, atau kemoterapi, yang memiliki resiko tinggi dan biaya mahal. Demikian juga dengan gawatnya penyakit persampahan kita di kota-kota metropolitan saat ini. Sudah saat nya kita berani ambil keputusan untuk nasib dan masa depan kita bersama. Wallahualam.

19 Januari 2019